Apostille Adalah: Definisi, Tujuan, Fungsi, dan Perbedaannya dengan Legalisir

Seiring berkembangnya globalisasi saat ini, kita seringkali memerlukan dokumen resmi yang diakui di banyak negara. Terutama saat berurusan dengan bisnis, studi, atau bahkan urusan administrasi pernikahan dan imigrasi. Salah satu cara untuk memastikan dokumen kita diterima di negara lain adalah dengan melakukan legalisasi. Tapi, banyak orang yang bingung antara apostille dan legalisir. Meskipun keduanya bertujuan untuk mengesahkan dokumen, proses dan aturan yang berlaku rupanya berbeda. Dalam artikel ini, kita akan kupas apa itu apostille, tujuan, fungsi, serta perbedaannya dengan legalisir. Apa Itu Apostille? Apostille adalah cara untuk memverifikasi keaslian tanda tangan, jabatan, atau cap pada dokumen resmi. Proses ini dilakukan oleh pihak yang berwenang di negara asal dokumen tersebut. Tujuan dari apostille yaitu guna memastikan dokumen tersebut sah dan bisa diterima di negara lain yang sudah setuju dengan sistem apostille. Dasar Hukum Apostille Apostille pertama kali diatur dalam Konvensi Den Haag 1961 yang dibuat untuk memudahkan legalisasi dokumen antar negara. Sebelum adanya sistem ini, legalisasi dokumen antarnegara memakan waktu lama dan ribet. Dengan adanya apostille, semua jadi lebih cepat dan praktis. Negara-Negara yang Tergabung dalam Konvensi Apostille Sekarang ini, lebih dari 100 negara sudah bergabung dalam Konvensi Den Haag. Negara-negara tersebut sepakat untuk saling mengakui apostille sebagai bukti sah dokumen internasional. Beberapa negara besar yang tergabung di dalamnya antara lain Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Prancis, dan Jepang. Tujuan dan Fungsi Apostille Tujuan utama dari apostille adalah untuk menyederhanakan proses legalisasi dokumen antarnegara yang sudah ikut dalam Konvensi Den Haag. Sebelumnya, legalisasi dokumen memerlukan prosedur panjang dan rumit. Namun dengan apostille, semuanya bisa jadi lebih cepat dan efisien dikutip dari IzinKilat. Adapun fungsi dari Apostille ini antara lain: 1. Memastikan Keaslian Dokumen di Negara Lain Fungsi utama apostille adalah untuk memastikan bahwa dokumen yang diterbitkan di negara asalnya sah dan diterima di negara lain yang tergabung dalam Konvensi Den Haag. Dengan begitu, kamu bisa menggunakan dokumen resmi seperti akta kelahiran, ijazah, surat nikah, dan lainnya di luar negeri tanpa masalah. 2. Mempermudah Transaksi Internasional Apostille membantu memudahkan banyak transaksi internasional, baik itu dalam dunia bisnis, pendidikan, pernikahan, atau bahkan urusan imigrasi. Misalnya, kalau kamu ingin kuliah di luar negeri, ijazah yang sudah di-apostille bisa diterima oleh universitas di negara tujuan. 3. Menghemat Waktu dan Biaya Dibandingkan Legalisir Konvensional Proses apostille jauh lebih cepat dan lebih murah dibandingkan legalisir biasa. Sebab, prosesnya cuma melibatkan satu pihak yang berwenang untuk memverifikasi keaslian dokumen, yaitu kementerian hukum atau lembaga yang setara di negara asal dokumen. Jenis-Jenis Dokumen yang Perlu Apostille Ada beberapa jenis dokumen yang biasanya perlu mendapatkan apostille. Berikut beberapa di antaranya: 1. Dokumen Publik Dokumen publik adalah dokumen yang diterbitkan oleh pemerintah atau pihak berwenang yang berkaitan dengan status hukum seseorang. Beberapa contoh dokumen publik yang perlu apostille adalah: – Akta Kelahiran: Dokumen yang mencatat kelahiran seseorang, lengkap dengan informasi orang tua dan tempatnya. – Akta Nikah: Dokumen yang mencatat pernikahan yang sah. – Ijazah dan Transkrip Nilai: Ijazah yang diberikan oleh sekolah atau universitas serta transkrip nilai akademik. – Akta Kematian: Dokumen yang mencatat kematian seseorang. – Surat Keterangan Domisili: Surat yang mengonfirmasi tempat tinggal seseorang yang diterbitkan oleh pemerintah. 2. Dokumen Notaris Dokumen yang dibuat oleh notaris juga perlu apostille, karena biasanya dokumen ini berkaitan dengan transaksi hukum atau kesepakatan penting. Contohnya adalah: – Akta Notaris: Seperti akta pendirian perusahaan atau akta jual beli properti. – Perjanjian Notaris: Misalnya perjanjian pinjam-meminjam atau kontrak lainnya yang memerlukan pengesahan. 3. Dokumen Pengadilan Dokumen yang berasal dari pengadilan juga harus diberi apostille agar sah di luar negeri. Contoh dokumen pengadilan yang membutuhkan apostille meliputi: – Putusan Pengadilan: Keputusan resmi dari pengadilan. – Surat Penetapan Pengadilan: Misalnya keputusan tentang hak asuh anak atau pembagian warisan. Proses dan Cara Mendapatkan Apostille Untuk mendapatkan apostille, ada beberapa langkah yang harus diikuti. Prosesnya tidak terlalu rumit, asalkan tahu prosedurnya yang benar. Di Indonesia, yang berwenang mengeluarkan apostille adalah Kementerian Hukum dan HAM. Tepatnya, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) yang menangani proses ini. Jadi, semua urusan apostille ada di bawah kewenangan mereka. Langkah-Langkah Mengajukan Apostille Inilah langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengajukan apostille: Persyaratan Dokumen Agar dokumen bisa diajukan untuk apostille, beberapa syarat yang perlu dipenuhi antara lain: Biaya yang Dibutuhkan Biaya untuk mengajukan apostille bervariasi tergantung jenis dan jumlah dokumen yang diajukan. Biayanya relatif terjangkau dibandingkan biaya legalisasi di luar negeri. Proses Apostille Online Supaya lebih simple, kini ada layanan apostille online dari Kementerian Hukum dan HAM. Berikut cara mengajukannya secara online: Dengan layanan online ini, proses pengajuan apostille jadi lebih cepat dan mudah. Perbedaan Apostille dan Legalisir Apostille dan legalisir adalah dua proses yang berkaitan dengan pengesahan dokumen untuk digunakan di luar negeri. Meskipun keduanya berguna untuk memastikan keabsahan dokumen di negara asing, namun proses serta tujuannya berbeda. Apostille adalah metode pengesahan dokumen yang diatur oleh Konvensi Den Haag 1961 dan digunakan oleh negara-negara yang menjadi anggota konvensi tersebut. Proses ini lebih sederhana dan lebih cepat, karena hanya membutuhkan pengesahan satu kali dari otoritas yang berwenang di negara asal. Sebaliknya, legalisir adalah proses yang melibatkan pengesahan dokumen oleh beberapa pihak, seperti Kementerian Luar Negeri dan kedutaan besar atau konsulat negara tujuan. Legalisir umumnya lebih rumit dan memakan waktu lebih lama dibandingkan apostille, karena melibatkan lebih banyak langkah administrasi. Tabel Perbandingan: Apostille vs. Legalisir Aspek Apostille Legalisir Negara yang berlaku Negara-negara yang menandatangani Konvensi Den Haag 1961. Negara yang tidak menandatangani Konvensi Den Haag. Proses Pengesahan satu kali oleh otoritas yang berwenang di negara asal. Pengesahan oleh Kementerian Luar Negeri, kemudian oleh kedutaan negara tujuan. Tujuan Memudahkan penggunaan dokumen di negara asing yang juga anggota konvensi. Memastikan dokumen diakui oleh negara tujuan yang tidak terikat pada Konvensi Den Haag. Waktu dan biaya Proses cepat, biaya lebih rendah. Proses lebih lama, biaya lebih tinggi. Situasi kapan digunakan Digunakan untuk dokumen yang akan digunakan di negara-negara anggota Konvensi Den Haag. Digunakan untuk dokumen yang akan digunakan di negara-negara yang tidak terikat pada Konvensi Den Haag. Situasi Kapan Menggunakan Apostille atau Legalisir Penggunaan apostille lebih tepat untuk dokumen yang akan digunakan di negara-negara yang merupakan anggota Konvensi Den Haag, seperti sebagian besar negara Eropa dan Amerika Serikat. Contoh
Pajak PT PMA: Jenis dan Kewajibannya yang Harus Ditaati

PT PMA atau yang dikenal dengan Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing merupakan salah satu bentuk badan usaha yang bisa didirikan di Indonesia dengan sumber modal yang berasal dari investor luar negeri. Modal yang digunakan untuk mendirikan perusahaan ini bisa berasal dari luar negeri secara penuh atau berupa gabungan antara modal asing dan modal yang berasal dari investor dalam negeri. Perusahaan dengan bentuk ini memiliki status sebagai badan hukum yang diakui oleh pemerintah Indonesia, sehingga secara otomatis masuk dalam kategori wajib pajak. Lantas, pajak apa saja yang harus dibayarkan oleh PT PMA? Yuk, kita bahas lebih dalam! Mengenal PT PMA Lebih Dekat Sebelum masuk lebih jauh ke pembahasan tentang jenis pajak yang harus dibayar oleh PT PMA, kita perlu memahami terlebih dahulu seperti apa bentuk perusahaan ini secara lebih rinci. PT PMA adalah salah satu jenis perusahaan berbentuk perseroan terbatas yang beroperasi di Indonesia dengan melibatkan modal dari pihak asing. Keberadaan PT PMA ini sudah diatur oleh hukum di Indonesia dan mendapatkan legalitas sebagai badan usaha resmi. Modal yang digunakan dalam PT PMA bisa berasal dari investasi luar negeri sepenuhnya, atau bisa juga dalam bentuk kerja sama antara investor asing dengan investor lokal yang ada di Indonesia. Menurut Kamar Dagang dan Industri (Kadin), PT PMA dianggap sebagai strategi bisnis yang menarik bagi para investor asing yang ingin memperluas bisnisnya ke pasar Indonesia. Ini karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki daya tarik besar bagi investor asing untuk menanamkan modalnya. Sebagai badan usaha yang sah secara hukum, PT PMA harus tunduk pada berbagai peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, termasuk dalam hal perpajakan. Perusahaan ini wajib untuk membayar pajak dan melaporkan seluruh kewajiban pajaknya sesuai ketentuan. Jenis-jenis Pajak yang Harus Dibayar PT PMA Agar semakin paham mengenai kewajiban perpajakan PT PMA, berikut ini adalah daftar pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan dengan modal asing ini: 1. Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) PPh Badan merupakan pajak yang dikenakan kepada perusahaan atas seluruh penghasilan yang mereka dapatkan dalam satu tahun pajak. Mengapa PT PMA harus membayar PPh Badan? Alasannya adalah karena PT PMA termasuk dalam kategori badan usaha yang secara hukum wajib membayar pajak. Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 yang telah mengalami beberapa kali perubahan, tarif pajak PPh Badan yang berlaku saat ini adalah sebesar 22% dari total pendapatan yang diperoleh dalam satu tahun pajak. 2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas transaksi jual beli barang atau jasa tertentu yang dilakukan oleh individu, perusahaan, maupun lembaga pemerintah yang sudah berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Menurut informasi dari KlikPajak, barang dan jasa yang terkena PPN dikenal dengan sebutan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). Saat ini, tarif PPN yang berlaku untuk PT PMA adalah 12% dari total nilai transaksi. Pemerintah juga telah mengumumkan bahwa tarif PPN akan mengalami kenaikan dari sebelumnya 11% menjadi 12% mulai tahun 2025. Keputusan ini tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah diumumkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Namun, untuk barang-barang yang tidak termasuk dalam kategori barang mewah, perhitungan PPN-nya tetap menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dengan nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual. Ini berarti PPN yang harus dibayar yaitu tetap 11%. 3. Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) PPh 21 merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diperoleh individu dari pekerjaan, jasa, maupun kegiatan tertentu. Sebagai contoh, pajak ini dikenakan pada gaji karyawan, honor, atau pembayaran atas jasa tertentu yang diberikan kepada pekerja. PT PMA memiliki kewajiban untuk memotong pajak ini dari penghasilan karyawan sebelum diberikan kepada mereka. Tarif PPh 21 ini bervariasi tergantung dari besaran penghasilan yang diperoleh. Secara umum, tarifnya berkisar antara 5%, 15%, 25%, hingga 30%. 4. Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh 26) Berbeda dengan PPh 21 yang dikenakan untuk karyawan lokal, PPh 26 merupakan pajak yang dikenakan kepada orang asing atau Wajib Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia. PPh 26 biasanya dikenakan pada berbagai jenis penghasilan, seperti: Tarif yang dikenakan untuk PPh 26 adalah sebesar 20% dari penghasilan bruto yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri. 5. Bea Meterai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan pada dokumen resmi, baik dalam bentuk fisik maupun elektronik. Contoh dokumen yang dikenakan Bea Meterai antara lain surat perjanjian, akta notaris, serta dokumen transaksi keuangan tertentu. Mulai tahun 2022, tarif Bea Meterai yang berlaku adalah Rp10.000 per dokumen. Pajak ini berlaku baik bagi individu maupun badan usaha yang menerbitkan atau menerima dokumen tersebut. Peraturan Pajak Terbaru yang Harus Dipahami oleh PT PMA Seiring dengan perubahan kebijakan perpajakan di Indonesia, PT PMA juga harus selalu memperbarui informasi terkait regulasi terbaru yang berlaku. Pemerintah juga menyediakan berbagai insentif pajak untuk mendorong investasi asing agar terus berkembang di Indonesia. Beberapa peraturan yang mengatur insentif pajak ini antara lain: Beberapa keuntungan yang bisa didapatkan PT PMA dari insentif pajak ini antara lain: Pengurangan Pajak Penghasilan: PT PMA bisa mendapatkan pengurangan penghasilan kena pajak sebesar 30% dari total investasi dalam aktiva tetap selama 6 tahun, dengan besaran 5% per tahun. Kriteria Perusahaan yang Berhak Mendapat Insentif: Tidak semua PT PMA bisa mendapatkan insentif ini. Biasanya, perusahaan yang memenuhi syarat adalah yang mampu menyerap banyak tenaga kerja, memiliki investasi besar dalam sektor ekspor, serta menggunakan banyak bahan baku lokal. Kesimpulan Sebagai perusahaan yang beroperasi di Indonesia, PT PMA wajib memahami dan mematuhi berbagai regulasi perpajakan yang berlaku. Beberapa jenis pajak yang harus dibayar oleh PT PMA meliputi PPh Badan, PPN, PPh 21, PPh 26, dan Bea Meterai. Dengan memahami dan mematuhi kewajiban ini, PT PMA bisa menghindari sanksi serta memastikan bisnis tetap berjalan dengan lancar. Selain itu, dengan adanya insentif pajak dari pemerintah, PT PMA bisa mendapatkan keuntungan tambahan selama memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
Pajak Yayasan: Jenis, Kewajiban, serta Pembagian Pajak Penghasilan

Berdasarkan aturan perpajakan Indonesia, setiap orang yang memenuhi syarat tertentu dan semua badan wajib membayar pajak. Tak terkecuali yayasan! Meskipun yayasan merupakan organisasi nirlaba yang bertujuan sosial, pendidikan, atau amal, mereka masih tetap memiliki kewajiban perpajakan. Menurut Standar Akuntansi Keuangan atau SAK, yayasan memperoleh sumber daya dari sumbangan anggota dan donatur tanpa mengharapkan imbalan. Namun, status nirlaba tidak membebaskan yayasan dari kewajiban pajak. Karena itu, di bawah ini kita akan membahas secara lengkap jenis objek pajak penghasilan yang ada pada badan hukum yayasan Status Yayasan Sebagai Subjek Pajak Yayasan telah dianggap sebagai subjek Pajak Penghasilan atau PPh. Proses pencatatan pendapatan dan pengeluaran pada yayasan juga serupa dengan organisasi lain. Di akhir periode keuangan, yayasan diwajibkan buat menyusun laporan yang mencatat Sisa Hasil Usaha, yang mirip dengan laporan laba-rugi pada perusahaan. Karena adanya laporan itulah alasan utama kenapa yayasan harus melaporkan SPT tahunan PPh badan. Kalau sampai terjadi pelanggaran perihal pajak, yayasan siap-siap dikenai sanksi administratif atau bahkan pidana. Kategori Objek Pajak Yayasan Objek pajak yayasan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: Pajak Yayasan yang Harus Dibayarkan Sebagai entitas hukum, yayasan wajib memenuhi berbagai kewajiban perpajakan. Berdasarkan UU PPh Pasal 2 Ayat (1) huruf b, yayasan dikategorikan sebagai subjek pajak badan. Arrinya, tanggung jawab perpajakan pada yayasan mirip dengan badan usaha lainnya. Adapun beberapa kewajiban pajak yang perlu diperhatikan oleh yayasan antara lain: 1. PPh Pasal 4 Ayat 2 – Pajak Final untuk Penghasilan Tertentu Yayasan bisa mendapat penghasilan dari berbagai sumber, dan beberapa di antaranya dapat dikenai pajak final. Contohnya, jika yayasan menempatkan dana dalam bentuk deposito atau tabungan, bunga yang diperoleh dari dana tersebut dikenai pajak final. Demikian pula jika yayasan memperoleh penghasilan dari penyewaan tanah atau bangunan. Pendapatan persewaan tersebut juga dikenai pajak final sesuai ketentuan. 2. PPh Pasal 21 – Kewajiban Memotong Pajak atas Penghasilan Karyawan atau Pihak Lain Bila yayasan mempekerjakan karyawan atau memberikan honorarium kepada tenaga ahli, maka wajib melakukan pemotongan PPh 21 atau Pajak Penghasilan 21. Pajak ini dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, tunjangan, honorarium, atau bentuk pembayaran lain terkait pekerjaan atau jasa. Misalnya, ketika yayasan mengundang pembicara dalam seminar dan membayar honorarium, yayasan harus memotong pajak dari pembayaran tersebut dan menyetorkannya ke kas negara. 3. PPh Pasal 23 – Pemotongan Pajak atas Penghasilan dari Beragam Sumber Selain pemotongan PPh 21, yayasan juga wajib memotong PPh Pasal 23 pada kondisi tertentu. Pajak ini berlaku pada berbagai jenis penghasilan yang dibayarkan kepada pihak ketiga, seperti dividen, bunga, royalti, serta pembayaran atas jasa tertentu. Jumlah yang harus dipotong disesuaikan menurut jenis penghasilan, dengan rincian: A) 15% dari total bruto, apabila penghasilan berasal dari: B) 2% dari total bruto, apabila penghasilan diperoleh dari: Oleh karena itu, jika yayasan menyewa peralatan dari pihak ketiga atau menggunakan jasa konsultan untuk suatu proyek, maka wajib memotong PPh 23 sebelum melakukan pembayaran. Pajak pada Penyusunan Laporan Keuangan Yayasan Dalam penyusunan laporan keuangan, yayasan perlu memperhitungkan aspek perpajakan karena berstatus sebagai subjek pajak. Meski tidak selalu memperoleh penghasilan yang dikenakan pajak, yayasan tetap dianggap sebagai Wajib Pajak. Sebagai gambaran, yayasan yang bergantung pada hibah atau donasi mungkin tidak memiliki penghasilan dikenai pajak. Namun, jika yayasan membayar gaji karyawan atau menggunakan jasa profesional, maka terdapat kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi. Jenis pajak yang perlu diperhatikan antara lain pemotongan PPh 21 dan PPh 23. Peran Yayasan dalam Pemotongan Pajak Pada operasionalnya, yayasan sering bertindak sebagai pemotong pajak atas berbagai transaksi keuangan. Beberapa contoh kewajiban pemotongan pajak yang harus dilakukan yayasan: Kesimpulan Walau berbentuk non-profit, yayasan tetap memiliki kewajiban pajak seperti badan usaha lainnya. Beberapa jenis pajak yang perlu diperhatikan meliputi PPh 21 bagi pegawai atau tenaga profesional, PPh 23 pada jasa tertentu, serta PPh 4 Ayat 2 yang bersifat final. Yayasan juga harus menyusun laporan keuangan dengan mempertimbangkan aspek perpajakan agar tetap sesuai dengan regulasi yang berlaku. Dengan demikian, mematuhi regulasi perpajakan sebagai subjek pajak menjadi salah satu tugas penting dalam tata kelola yayasan yang profesional dan bertanggung jawab.